Rabu, 26 September 2012

UAPAYA DAN KIPRAH MAULANA SYAIKH SEBAGAI
AGENT OF CHANGE 
 MEMBANGUN ETOS DI NTB
TGKH MUHAMMAD ZAINUDDIN AM
Sejak tahun 1934 M, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini lahir, Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah menancapkan kiprahnya untuk negeri ini berjuang membangun keberagamaan umat dan masyarakat yang saat itu masih hidup terpuruk, tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan di berbagai sektor kehidupan. Lalu, kehadiran dan kemunculan “sang matahari terbit dari timur” (gelar Maulana Syeikh-red) ini di mata umat, “bagaikan air yang menghilangkan haus dan dahaga dan bagaikan hujan yang turun membawa berkah, ketika menyirami bumi yang sedang tandus dan gersang”.


Betapa tidak, dalam penelusuran kami pada aspek keberagamaan umat misalnya, dimana keberadaan masyarakat Sasak di pulau Lombok NTB yang didiami oleh mayoritas masyarakat muslim, yang kemudian populer dengan sebutan ”Pulau Seribu Masjid”, ternyata tidak lepas dari berbagai bentuk hiruk pikuk praktik-praktik keberagamaan yang melenceng dari dimensi aqidah, syari`ah ataupun akhlak. Khusus dalam dimensi aqidah Islam misalnya, praktik faham animisme dan pantaisme menjadi anutan di wilayah ini. Pemujaan dan penyembahan seperti pada roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keberagamaan yang disebut dengan istilah Sasak Boda. Dalam dimensi syari`ah misalnya lagi, wilayah Lombok NTB inipun sangat terkenal dengan salah satu bentuk praktik keberagamaan yang disebut dengan istilah, Wetu Telu. Sebuah fenomena praktik syari`ah Islam yang jelas melenceng dari rel syari`at Islam. Wetu Telu ini menurut beberapa kalangan menyebutnya semacam penganut Islam Abangan yang ada dikalangan masyarakat Jawa. Sementara pada dimensi akhlak, yakni pada tataran tasawuf khususnya, wilayah inipun sangat melekat dan kental dengan praktik tasawuf dalam bentuk tarekat ”syetan” (meminjam istilah Maulana Syeikh-red), yakni bentuk praktik thariqat yang melepaskan diri dari dimensi syari`at Islam yang sempurna. Mereka berkeyakinan bahwa dalam peribadatan kepada Allah itu, cukuplah hanya dengan berthariqat saja, karena dengan thariqat yang dianutnya itu dapat mengantarkan mereka pada kebebasan dalam menjalankan syari`at (meninggalklan shalat-red).
Illustrasi diatas adalah fenomena dari satu sisi dan dimensi yang terkait dengan keberagamaan umat saat itu. Artinya, belum lagi illustrasi mengenai keberadaan masyarakat yang masih hidup dalam ketertindasan dari kaum kolonialis yang menenggelamkan harkat dan martabat masyarakatnya, sehingga umat atau masyarakatpun larut hidup dalam kebodohan dan keterbelakangan bahkan kehinaan.
Oleh sebab itu, dengan memperhatikan berbagai fenomena keberagamaan umat dan kondisi masyarakat Lombok dan NTB yang saat itu masih tenggelam hidup dalam kebodohan dan keterbelakangan dalam berbagai sektor kehidupan, sebagaimana digambarkan diatas, maka kami ingin mengatakan bahwa kehadiran dan kemunculan Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam kiprahnya membangun etos perubahan umat yang dimulai sejak menginjakkan kakinya di Bumi Selaparang Lombok, NTB ini, maka kami ungkapkan beliau itu di mata umat,” Bagaikan air yang dapat menghilangkan haus dan dahaga dan bagaikan hujan yang turun membawa berkah, ketika menyirami bumi yang sedang tandus dan gersang”. Dari kiprahnya inipun, layak kita sebut Maulana Syaikh itu sebagai ulama agen of change (agen perubahan) di daerah NTB khususnya dan Indonesia umumnya.
Penyebutan penulis terhadap Maulana Syaikh seperti ini, pada dasarnya bukanlah berlebihan dan tidak beralasan, tapi semua ini adalah realita yang tidak terbantahkan dengan melihat betapa banyak perubahan dan kemajuan nyata yang ”dahsyat” , masih dapat kita rasakan bersama saat ini.
Dengan demikian, eksistensi Maulana Syaikh sebagai agen perubahan dan membentuk etos hidup yang berbasis Iman Taqwa tidak diragukan lagi, inilah kado terbaik Maulana Syeikh untuk warga Nahdaltul Wathan dan masyarakat NTB agar menjadi pelaku perubahan sekarang dan nanti. Wallahu A’lamu Bissawab! 
                                                                                                            Muslihan Habib, M.Ag

Tidak ada komentar: